Menepati Janji

“Mas, aku juga punya kucing, tapi aku titipkan di rumah adik sepupu biar kucingnya ada temannya,” katamu di motor setelah aku curhat tentang kantor kerjaku yang mendadak jadi rumah kucing. Sebetulnya aku tak peduli kecuali tentang dirimu.

“Oh, iya? Kucing apa itu?” tanyaku.

“Kucing persia, mas. Pemberian budhe,”

“Pasti lucu, bulunya halus.”

“Lucu, sih, mas. Tapi kalau marah suka mencakar,” ucapmu seraya menunjukkan tangan.
Kita terus mengobrol, tanpa sadar telah sampai di Posko KKN.

Semenjak KKN hubungan kita semakin dekat. Meski dipaksa oleh keadaan, aku menikmatinya. Seiring sering kita bersama, perasaan yang disebut cinta tumbuh ranum dari jiwaku. Akarnya menancap kuat hingga kepalaku.

Aku hanya ingin terus bersama. Jika kamu ingat, kamu pernah memintaku pergi ke kota membelikan kertas kado, sementara hari sudah malam dan waktu itu rinai hujan perlahan. Aku mengiyakan saja tanpa memperdulikan
kesehatanku.

Benar saja, tiga hari setelah itu tubuhku menggigil. Suhu badanku sama seperti tungku. Tidak, aku hanya melebih-lebihkannya. Tapi aku benar-benar sakit.

Saat tahu kondisiku, kamu datang membawa teh hangat dan sekantong obat. “Mas, jangan lupa diminum biar cepat sembuh,” suaramu dari balik pintu. Aku tak membalas, hanya mengangguk.
Perlakuanmu sama seperti sebelumnya, saat tanganku tergores pisau. Meski hanya beberapa tetes darah yang keluar, dirimu panik bukan kepalang. Bergegas mencari obat merah dan mengobati lukaku.
Siapa yang tidak luluh dengan perlakukanmu itu?

Meski KKN telah usai, kita masih mencuri waktu untuk sekedar bertemu dan menikmati riuhnya jalan Supriadi.

“Mas, aku capek. Kuliahku banyak tugas,” ucapmu seraya menyandarkan kepala di pundaku. Aku bingung mau membalas apa. Spontan saja aku menawarkan bantuan, berharap bisa melegakan bebanmu.

“Apa yang bisa aku bantu?”

“Ndak usah, mas. Kamu pasti juga capek dengan pekerjaanmu. Kamu ada target menulis ‘kan?”

“Jangan ragu, kalau bisa aku bantu. Kalau tidak bisa aku paksa agar bisa,”

“Ih, mas, sok kuat,” ucapmu diikuti tawa kecil. Namun tawa itu menggetarkan seluruh jiwaku. “Sebenarnya, ada tugas membuat artikel. Aku hanya perlu dua rujukan lagi.”

“Oh, hanya itu?”

“Hanya itu?! Susah tahu mencarinya,”

“Aku sudah terbiasa mencari sumber untuk ditulis, bahkan hanya bermodalkan hp”, ucapku agar dirimu yakin. “Setelah sampai rumah aku carikan, kapan deadlinenya?”

“Seminggu, sih.”

Perlakuanku padamu tak lebih untuk saling melengkapi. Aku kurang apa kamu melebihinya, kamu kesulitan aku membantu. Aku merasa hubungan kita sudah lebih dari pertemanan biasa. Aku merasakan ada yang tumbuh dari jiwamu yang coba kamu tutup-tutupi.
Sampai pada waktu yang aku benci, kuliah memaksamu untuk berpisah jauh dariku. Kamu ada tugas magang di perusahaan luar kota.

Tiga bulan lamanya aku berteman sepi menanti dirimu. Harap-harap cemas, apakah rindu ini akan terbayar tuntas. Dua bulan telah berlalu. Dua bulan yang begitu berat ternyata bisa aku lalui.
Kita bertemu di sebuah kedai kopi seberang Jalan Supriadi. Kita sepakat untuk tidak saling bercerita sebelum sampai di lokasi. Aku memacu kendaraanku secepat mungkin. Tak sabar dengan cerita-ceritamu. Bukan. Yang aku nantikan hanyalah dirimu.

Sampai di depan kedai aku memarkirkan kendaraan. Bergegas masuk menerobos kerumunan. Ada perasaan cemas membuatmu menunggu. Hatiku lega sampai aku melihatmu duduk di kursi tempat kita dulu mengerjakan tugas bersama.

Aku menyapamu. Sedikit kaku. Maklum, sudah dua bulan tak bertemu langsung. Sepertinya dirimu juga demikian. Awal perbincangan kita hanyalah basa-basi seorang teman yang telah lama tak bersua. Hingga akhirnya aku membuka obrolan lebih serius.

“Jadi, apa cerita yang kamu janjikan padaku tempo hari?”

“Enggak, kamu dulu. Katanya ada hal penting yang ingin disampaikan.”

“Kamu duluan saja. Aku akan bercerita setelahmu,”

“Baiklah”

Jantungku berdetak lebih cepat, penasaran.

“Jadi waktu magang kemarin aku terjebak situasi sulit. Aku bingung cara keluar dari situasi itu,” matamu berkaca-kaca.

“Lalu ada laki-laki yang membantuku. Semenjak itu aku jadi akrab dengan dia,”

Perasaanku mulai tidak enak. Tapi aku mengenyampingkannya.

“Tiba-tiba dua minggu yang lalu dia menembakku,”

Perasaanku hancur seketika. Kosong. Tidak tahu harus berkata apa. Tapi wajahku ku paksa tersenyum. Seraya mengucapkan selamat.

“Udah itu dulu. Gantian kamu yang bercerita,” ucapmu ketika aku membuang wajah kecewa yang tiba-tiba muncul.

“Tidak jadi, aku pikir-pikir tidak penting lagi diucapkan,”

“Kenapa? Kok tiba-tiba kamu begini?”

“Ndak, normal.”

“Kamu bohong! Aku tahu itu dari matamu,”

Kita diam sesaat, “Aku mencintaimu. Aku berencana melamarmu hari ini. Tapi sepertinya sekarang sudah tegas kondisinya. Tak mungkin aku sampaikan kan?”

Kami kembali diam dan sesaat kemudian ia berkata, “Maaf, aku tidak salah dengar? Kamu mencintaiku? Kenapa? Sejak kapan?”

“Sejak kita KKN. Pelan tapi pasti. Aku menabung perasaan cinta untukmu,”

“Kenapa sih kamu harus mencintaiku? Kenapa tidak menganggapku sebagai sahabat?”

“Aku juga tidak tahu. Itu terjadi begitu saja. Tidak ada aba-aba dari semesta,” lalu aku menunduk dan kembali menatapmu, “Semua perlakuanmu padaku yang telah membangkitkannya.”

“Tapi kenapa harus kamu ungkapkan sekarang? Kenapa tidak dari dulu?”

“Aku terlalu takut. Takut kamu menolakku. Takut semua kedekatan kita hancur karena ungkapanku,”

“Sekarang sudah telat. Aku tidak mungkin mengkhianati pacarku,”

“Tapi jika kamu belum punya pacar, apa bersedia menerima cintaku?”

“Mungkin.”

“Mungkin?”

Dirimu menghela napas panjang, “Aku sudah menganggapmu teman. Aku tak ingin kita pacaran. Aku tak ingin hubungan kita dan apapun tentang kita harus ikut hancur jika hubungan kita renggang.”

“Bukankah itu yang harus kita pertaruhkan?”

“Tidak, aku tak ingin bertaruh jika resikonya hubungan pertemanan kita. Selamanya kita terus begini,”

“Baiklah, maaf jika aku mengungkapkan perasaan yang seharusnya aku pendam.”
Kami diam. Ruangan kedai itu mendadak sunyi. Suara jam dinding bersahutan dengan detak jantungku. Perasaanku campur aduk. Marah, kecewa, sedih, sakit, dan sakit.

Aku mencoba berdamai sesaat. Mencoba mencari alasan untuk segala perasaan itu. Kenapa? Karena siapa? Tentu aku tak ingin jika alasannya adalah kamu. Padahal kamu adalah perempuan yang aku cintai.
Kamu memegang tanganku lalu berkata, “bisakah kamu berjanji jika pertemanan kita tidak goyah karena ini?”

Aku tidak yakin, tapi berusaha meyakinkan “Kita lihat saja nanti. Aku berharap bisa menepati janji itu,”
Perasaan kacau itu menyiksaku bersamaan dinding-dinding ruangan yang kian sunyi. Aku pamit. Meninggalkanmu sendirian.

Beberapa hari setelah itu kamu mencoba menghubungiku melalui pesan singkat. Aku biarkan tanpa membalas pesanmu. Perasaanku masih belum bisa berdamai. Aku masih mengharapkanmu sementara itu harapan yang tidak mungkin tercapai. Tepatnya, aku dikoyak harapanku sendiri.

Kami terus mencoba menghubungiku. Sekitar 15 panggilan tak terjawab darimu. Sampai pagi hari ibukku mengangkat telpon itu. Lalu kamu sampaikan jika ingin bertemu aku. Pagi hari di tempat yang sama.
Lalu aku mencoba membuka pesan-pesan yang kamu tinggalkan. Aku sedikit tak kuasa. Hingga sebuah pesan singkat namun menusuk jiwaku, “bukankah kita berjanji untuk tetap berteman? Kamu tega menyakitiku dengan mengacuhkan setiap pesan yang aku kirim?” Tulismu. Tapi aku bisa merasakan amarah dan kekecewaanmu padaku.

Aku berpikir sejenak. Lari dari perasaan ini atau menghadapinya meski aku tak tahu apa yang akan terjadi. Mungkin sakit semakin parah atau sebaliknya.

Setelah berpikir panjang aku mengiyakan ajakanmu bertemu. Pagi hari di kedai biasanya kita bertemu.
Sampai lokasi yang kita janjikan aku duduk dengan membuang muka. Hanya berjabat tangan sesaat.
Seperti biasanya, kamu mengawali dengan basa-basi. Basa-basi itu sudah terlalu basi. Aku hanya meresponnya singkat dan semangat.

Lalu kamu berkata, “Terima kasih. Meski terpaksa, kamu masih mau menemuiku. Setidaknya janji yang kamu ragukan itu bisa diteruskan lebih lama lagi”.

“Oh, ya?”

Kita terdiam. Aku tak begitu bersemangat. Aku hanya ingin kita mengsudahi pertemuan ini. Tapi aku masih belum berani beranjak. Meski kecil, aku masih berharap jika kamu menjadi kekasihku.
Aku membayangkan kita kembali berboncengan tanpa tujuan. Lalu terjebak hujan dan kita berdiam di sebuah kedai di pinggir jalan. Kita saling berpelukan. Aduh, pikiranku terlalu jauh. Bahkan menatap yang dekat saja aku tak berani.

Sampai aku sadar bahwa memaksamu tidak akan membuatku baik. Aku tidak ingin membuatmu berada di perasaan bersalah.

Dengan penuh kepalsuan aku berkata padamu, “Maaf. Aku membuatmu marah, atau terjebak perasaan bersalah. Aku menjadi kekanak-kanakan. Padahal aku dulu sering menesehatimu.”

“Tak apa, terima kasih. Kamu sudah menepati janji jika kita akan terus menjadi teman. Mungkin ini bentuk cinta kita yang tak pernah menyatu,”

Kamu tersenyum. Mengingatkanku ketika kita menikmati riuhnya Jalan Supriadi. Perlahan tapi pasti, aku mulai berdamai.

Dan terima kasih. Kamu juga berjanji akan tetap menemuiku. Meski ini yang terakhir kali. Dunia kita sudah berbeda. Kutuliskan ini sebagai pengingat bahwa kita pernah dekat.

Aku biarkan cinta ini lapuk dan membusuk bersamaan taburan bunga dipemakamanku.

Scroll to Top